PENGERTIAN DAN JENIS-JENIS UPAYA HUKUM #02



JIKA ANDA BELUM MEMBACA PENGERTIAN DAN JENIS-JENIS UPAYA HUKUM #01, SILAHKAN KLIK DISINI

c) Kasasi 

Kasasi termasuk dalam upaya hukum biasa yang dapat diajukan oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi. Kasasi berasal dari kata ‘casser’ yang berarti “memecahkan atau membatalkan, sehingga bila suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dibawahnya diterima oleh Mahkamah Agung, maka berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya.

Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung. Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukum, jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkaranya sehingga pemeriksaaan tingkat kasasi tidak boleh/dapat dianggap sebagai pemeriksaan tingkat ketiga.

Alasan mengajukan kasasi menurut Pasal 30 UU RI No. 3/2009 antara lain :

1. “Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang Tidak bewenangan yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan absolut pengadilan, sedang melampaui batas bisa terjadi bila pengadilan mengabulkan gugatan melebihi yang diminta dalam surat gugatan.
2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku Yang dimaksud disini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat dilakukan oleh judex facti.

3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan Perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah.”

Permohonan kasasi harus sudah disampaikan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada Pemohon (Pasal 46 ayat(1) UU RI No. 3/2009 Tentang Mahkamah Agung), bila tidak terpenuhi maka permohonan kasasi tidak dapat diterima. Prosedur upaya hukum kasasi sebagaimana diatur dalam UU RI Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung dijabarkan sebagai berikut:

1. “Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik secara tertulis atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dengan melunasi biaya kasasi.
2. Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampurkan pada berkas.
3. Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan.
4. Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan kasasi.
5. Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan memori kasasi pada lawan paling lambat 30 hari.
6. Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasasi dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi.

7. Setelah menerima memori dan kontra memori kasasi dalam jangka waktu 30 hari Panitera Pengadilan Negeri harus mengirimkan semua berkas kepada Mahkamah Agung. 

Berbeda dengan tenggang waktu yang diberikan dalam permohonan upaya hukum banding yang masih dapat diterima dengan membawa surat keterangan panitera, permohonan kasasi tidak dapat diterima apabila melewati tenggang waktu yang telah diberikan. Dalam hal ini Mahkamah Agung pada pemeriksaan di tingkat Kasasi dianggap sebagai Judex Juris, sesuai dengan Pasal 30 UU RI No.3/2009 bahwa alasan-alasan tersebut termasuk dalam pemeriksaan penerapan hukum.


2.2.2. UPAYA HUKUM LUAR BIASA

Dengan memperoleh kekuatan hukum tetap suatu putusan dapat diajukan upaya hukum luar biasa oleh pihak yang berperkara. Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum tetap apabila tidak tersedia lagi upaya hukum biasa. Untuk putusan-putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ini tersedia upaya hukum istimewa, dikatakan istimewa karena upaya hukum tersebut dapat memeriksa kembali putusan yang telah inkrah agar mentah kembali. “Upaya hukum istimewa hanya boleh dilakukan dalam hal-hal tertentu sebagaimana yang diatur dalam undang-undang saja.”45 Yang termasuk upaya hukum istimewa yakni Peninjauan Kembali (request civil) dan Perlawanan Pihak Ketiga (derden verzet).

a) Peninjauan Kembali (request civil)

Upaya hukum peninjauan kembali disebut juga dengan request civil yang merupakan suatu upaya agar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) agar mentah kembali. 

Menurut Sudikno Mertokusumo dalam buku Soeroso berpendapat bahwa, “Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum terhadap putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek), dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan. Permohonan upaya hukum Peninjauan Kembali pada dasarnya tidak menangguhkan ataupun menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi putusan). 

Dahulu pengaturan upaya hukum peninjauan kembali tidak terdapat dalam HIR, melainkan pengaturannya ada dalam RV Pasal 385 dan seterusnya (Reglement of de Rechtsvordering) yang merupakan hukum acara Request Civil perdata yang dahulu berlaku bagi golongan eropa. Istilah Peninjauan Kembali dalam perundang-undangan nasional, terdapat dalam Pasal 15 UU RI No. 19/1964 dan Pasal 31 UU RI No. 13/1965. 

Seiring perkembangannya dewasa ini, pengaturan Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 66-75 UU RI Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung atas perubahan kedua dari UU RI Nomor 14 Tahun 1985. Berdasarkan UU RI Nomor 3 Tahun 2009 tersebut dijelaskan prosedur mengajukan permohonan peninjauan kembali sebagai berikut:

1. “Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama. 

2. Membayar biaya perkara. 

3. Permohonan Pengajuan Kembali dapat diajukan secara lisan maupun tertulis. 

4. Bila permohonan diajukan secara tertluis maka harus disebutkan dengan jelas alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama. ( Pasal 71 ayat 1 ) 

5. Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dihadapan hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut. ( Pasal 71 ayat 2 ) 

6. Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat diajukan sekali. 

7. Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat diketahui dan dijawab oleh lawan. ( Pasal 72 ayat 1 ) 

8. Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal diterima salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat maka jawaban tidak akam dipertimbangkan. ( Pasal 72 ayat 2 ) 

9. Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diteimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada pemohon untuk diketahui. ( Pasal 72 ayat 3 ) 

10. Permohonan peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari. ( Pasal 72 ayat 4 ) 

11. Pencabutan permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali. ( Pasal 66 ) 

Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah “pihak yang berperkara sendiri atau ahli warisnya atau ahli seorang wakilnya yang dikuasakan secara khusus untuk itu. Pernyataan tersebut sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 68 ayat (1) UU RI No.3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung. Berdasarkan isi pasal tersebut bahwa orang ketiga bukanlah pihak dalam perkara perdata tersebut, maka orang ketiga tidak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali. Terkait permohonan upaya hukum peninjauan kembali, tenggang waktu untuk mengajukannya adalah 180 hari untuk beberapa alasan sebagaimana yang telah ditentukan dalam undang undang (Pasal 69 UU RI No.3/2009). 

b) Perlawanan Pihak Ketiga (derden verzet) 

Perlawanan pihak ketiga atau yang dikenal dengan istilah derden verzet merupakan upaya hukum luar biasa. “Perlawanan pihak ketiga  yakni perlawanan yang dilakukan oleh orang yang semula bukan merupakan pihak yang bersangkutan dalam berperkara dan hanya karena ia merasa berkepentingan.”49 Oleh karena ia merasa mengenai barang yang disengketakan atau sedang disita dalam suatu perkara sebenarnya bukan milik tergugat, tetapi milik pihak ketiga. Perlawanan pihak ketiga ini, digunakan oleh pihak ketiga untuk melawan putusan hakim, baik putusanyang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) maupun perkara yang sedang dalam proses. “Dasar hukum yang mengatur tentang perlawanan pihak ketiga adalah Pasal 208 HIR/228 RBG.

Pasal tersebut mengatakan ketentuan pasal diatas berlaku juga, jika orang lain membantah dalam hal pelaksanaan putusan tersebut, karena dikatakannya bahwa barang yang disita tersebut adalah miliknya. Pasal yang dimaksud ketentuan diatas adalah Pasal 207 HIR yang berbunyi;

(1) Bantahan orang yang berutang tentang pelaksanaan putusan, baik dalam hal yang disita adalah barang yang tidak tetap, maupun dalam hal yang disita barang yang tetap, harus diberitahukan oleh orang yang hendak membantah tersebut, dengan surat atau dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri, yang tersebut pada ayat (6) Pasal 195;

(2) Kemudian perkara tersebut dihadapkan oleh ketua pada persidangan pengadilan negeri, supaya diputuskan sesudah kedua belah pihak diperiksa atau dipanggil secara patut;

(3) Bantahan itu tidak dapat menunda pelaksanaan putusan (eksekusi) kecuali jika ketua memberikan perintah supaya hal itu ditangguhkan sampai jatuh putusan pengadilan negeri.

Perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga terhadap sita jaminan harus benar-benar mempunyai kepentingan untuk meminta diangkatnya sita tersebut, karena sita tersebut merugikan haknya. Seperti penyitaan terhadap barang-barang yang digunakan dan dibutuhkan sehari-hari untuk menjalankan pekerjaan, hal ini diatur dalam Pasal 195 ayat (6) dan (7) HIR yang menegaskan apabila suatu penetapan tersebut dibantah karena penyitaan terhadap barang miliknya maka dapat mengajukan perlawanan kepada majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut.

Menurut Rocky Marbun, prosedur dalam mengajukan perlawanan pihak ketiga yang harus dilaksanakan yaitu :

(1) “Diajukan oleh pihak ketiga guna membela dan mempertahankan hak kepentingannya di pengadilan, bukan sebagai kewajiban;

(2) Pelawan bukan subjek yang terlibat langsung sebagai pihak dalam putusan yang dilawan;

(3) Pada derden verzet, pelawan harus menarik seluruh pihak yang terlibat dalam putusan yang dilawan. Hal ini merupakan syarat mutlak yang tidak boleh diabaikan, bila diabaikan mengandung cacat formal berupa error in persona yang dapat mengakibatkan putusan atau gugatan tidak dapat diterima;

(4) Tenggang waktu derden verzet dapat dikatakan luas tetapi juga dapat dikatakan sempit, karena tidak dibatasi oleh jumlah hari, minggu, bulan, dan bahkan tahun, yang membatasinya adalah eksekusi putusan. Kalau eksekusi itu cepat maka cepat pula habisnya tenggang waktu untuk mengajukan derden verzet. Apabila lambat maka lambat pula berakhirnya tenggang waktu untuk mengajukan derden verzet;

(5) derden verzet didaftar sebagai perkara baru dengan membayar biaya perkara baru;

(6) Karena derden verzet didaftar sebagai perkara baru dengan membayar biaya perkara baru, maka terpisah dari nomor perkara yang dilawan;

(7) Karena derden verzet itu sebagai perkara baru, yang menjadi bahan pemeriksaan adalah perlawanan pelawan. Bila terlawan membantah dalil pelawan maka pelawan berkewajiban membuktikan dalilnya.


Sumber-Sumber :

M. Nur Rasaid, 2003, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta

R. Soeroso, 1994, Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan, Sinar Grafika, Jakarta,

Riduan Syahrani, 1994, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Sinar Grafika, Jakarta, 


Membaca dan Menulis Disini

Post a Comment

0 Comments