PENGERTIAN DAN JENIS-JENIS UPAYA HUKUM #01



2.1 PENGERTIAN UPAYA HUKUM

Dalam suatu proses penyelesaian perkara di peradilan umum, para pihak yang berperkara memiliki tujuan untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Namun pada kenyataannya, setiap putusan yang dijatuhkan oleh hakim belum tentu memenuhi unsur keadilan dan kebenaran karena pada hakekatnya hakim juga merupakan seorang manusia yang dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan dalam memutus dan memihak salah satu pihak.

“Berdasarkan hal tersebut undang-undang memberi suatu cara bagi pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan yang dijatuhkan oleh hakim untuk melakukan perlawanan dalam hal tertentu sebagai alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.” Berdasarkan pengertian diatas, upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum dalam hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas terhadap putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan dan tidak memenuhi rasa keadilan demi mencegah kekeliruan dalam suatu putusan.

2.2. JENIS-JENIS UPAYA HUKUM

Dalam Hukum Acara Perdata dikenal 2 macam upaya hukum, diantaranya yakni upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang terletak diantara kedua upaya hukum ini adalah upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi kecuali bila suatu tuntutan dikabulkan serta mertanya, sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi. 

2.2.1. Upaya Hukum Biasa 

“Upaya hukum biasa bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara.”38 Upaya hukum biasa sifatnya terbuka untuk setiap putusan selama tenggang waktu yang telah ditentukan oleh peraturan perundangundangan. Wewenang untuk menggunakannya hapus dengan menerima putusan. Upaya hukum biasa yakni; perlawanan (verzet), banding, dan kasasi. 

a) Perlawanan (verzet) 

Pada dasarnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang pada umumnya menjadi pihak yang dikalahkan. “Perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat atau biasa disebut putusan verstek. Prosedur mengajukan perlawanan diatur dalam Pasal 129 ayat (1) HIR yang menyatakan bahwa : 

1) Dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek itu diberitahukan kepada tergugat sendiri, jika putusan tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri maka; 

2) Perlawanan boleh diterima sehingga pada hari kedelapan setelah teguran (aanmaning) yang tersebut dalam pasal 196 HIR atau; 

3) Dalam delapan (8) hari setelah permulaan eksekusi (pasal 197 HIR). Upaya perlawanan hanya dapat diajukan satu kali, apabila terhadap upaya perlawanan ini tergugat tetap dikenakan putusan verstek, maka tergugat harus menempuh upaya banding 

b) Banding 

Upaya hukum banding diajukan apabila para pihak merasa tidak puas terhadap isi Putusan Pengadilan Negeri. Pengertian upaya hukum banding merupakan “suatu upaya hukum biasa yang dapat diajukan oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Pengajuan upaya hukum banding ditujukan kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan. 

Dengan mengajukan upaya hukum banding sesuai azasnya maka, proses eksekusi atau pelaksanaan isi Putusan Pengadilan Negeri tersebut belum dapat dilaksanakan, karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi, kecuali dalam putusan serta merta (putusan uit voerbaar bij voeraad). 

Upaya hukum Banding “diatur dalam Pasal 188 s/d 194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan Pasal 199 s/d 205 RBg (untuk daerah di luar Jawa dan Madura). Kemudian “berdasarkan Pasal 3 Jo Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1951 (UU Darurat No. 1/1951), Pasal 188 s/d 194 HIR dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU Bo. 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura. Sedangkan daerah di luar Jawa dan Madura tetap digunakan RBg. Permohonan banding harus diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan tersebut, pernyataan ini sesuai dengan yang dijelaskan dalam Pasal 7 UU RI Nomor 20 Tahun 1947 Tentang Pengadilan Peradilan Ulangan.

Prosedur mengajukan permohonan banding menurut Pasal 21 UU RI No. 4/2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 7 s/d 9 UU RI No. 20/1947 yaitu :

1. “Dinyatakan dihadapan Panitera Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan terlebih dahuku membayar lunas biaya permohonan banding. 

2. Permohonan banding dapat diajukan tertulis atau lisan (pasal 7 UU No. 20/1947) oleh yang berkepentingan maupun kuasanya. 

3. Panitera Pengadilan Negeri akan membuat akta banding yang memuat hari dan tanggal diterimanya permohonan banding dan ditandatangani oleh panitera dan pembanding. Permohonan banding tersebut dicatat dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding Perkara Perdata. 

4. Permohonan banding tersebut oleh panitera diberitahukan kepada pihak lawan paling lambat 14 hari setelah permohonan banding diterima. 

5. Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat serta berkas perkara di Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.  

 6. Walau tidak harus tetapi pemohon banding berhak mengajukan memori banding sedangkan pihak Terbanding berhak mengajukan kontra memori banding. Untuk kedua jenis surat ini tidak ada jangka waktu pengajuannya sepanjang perkara tersebut belum diputus oleh Pengadilan Tinggi. (Putusan MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11 September 1975). 

7. Pencabutan permohonan banding tidak diatur dalam undang-undang sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi pencabutan permohonan banding masih diperbolehkan.

Jangka waktu permohonan banding dapat diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan dijatuhkan, namun terhadap permohonan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut, tetap dapat diterima dan dicatat dengan syarat membuat surat keterangan Panitera, bahwa permohonan banding telah lampau. 

c) Kasasi

Kasasi termasuk dalam upaya hukum biasa yang dapat diajukan oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi. Kasasi berasal dari kata ‘casser’ yang berarti “memecahkan atau membatalkan, sehingga bila suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dibawahnya diterima oleh Mahkamah Agung, maka berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya. Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung. Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukum, jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkaranya sehingga .............................................. Baca Kelanjutannya di HALAMAN INI 

Membaca dan Menulis Disini

Post a Comment

0 Comments