Pengertian dan Penjelasan Percobaan Tindak Pidana

(Palu Sidang)

Pengertian Percobaan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita telah mengatur mengenai percobaan untuk melakukan kejahatan atau pogingtot misdrijf itu sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan telah mengancam pelakunya dengan suatu hukuman.[1]

Pompe mengatakan bahwa mencoba adalah berusaha tanpa hasil. Makna mencoba dapat ditemukan dalam baahsa sehari-hari. Kalau syarat-syarat tersebut ada, timbullah perbuatan pidanabaru meskipun dalam bentuk delik tidak selesai, tetapi dapat dipidana. Pemberian nama untuk percobaan oleh Pompe, yaitu bentuk perwujudan dari perbutan pidana sebab deliknya timbul, menampakkan diri, tetapi dalam bentuk yang belum selesai.[2]

Umumnya kata percobaan atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang mana pada akhirnya tidak atau belum tercapai.

Percobaan menurut Hukum Pidana adalah suatu pengertian teknik yang agak banyak segi atau aspeknya. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya ialah, bahwa apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal percobaan maka sudah tetap, bahwa tujuan yang dikejar adalah tidak tercapai. Unsur belum tercapai tidak ada, dan maka dari itu tidak menjadi persoalan.[3]

Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku I tentang Aturan Umum, bab IV pasal 53 dan 54 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53
1. Mencoba melakukan kejahatan pidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri;
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga;
3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun;
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Pasal  54
Mencoba melakukan pelanggaran tindak pidana.[4]

Syarat dipidananya pembuat percobaan kejahatan telah diterangkan diatas bahwa apa yang dirumuskan pada pasal 53 (1) bukanlah defenisi atau arti yuridis dari percobaan kejahatan, tetapi rumusan yang memuat tentang syarat-syarat kapankah melakukan percobaan kejahatan dapat dipidana, syarat-syarat itu ialah:
1. Adanya niat (voornemen);
2. Adanya permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering);
3. Pelaksanaanya tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

Undang-undang sendiri tidak menjelaskan secara sempurna perihal tiga syarat tersebut. Pembentuk undang-undang menyerahkan pada praktik hukum. Oleh sebab itu, tidak heran memudian tentang 3 syarat itu telah menimbulkanbanyak pendapat, sebagaimana nanti terlihat seperti yang akan diutarakan dibelakang.[5]

1. Adanya niat
Percobaan tindak pidana yang diancam pidana hanyalah percobaan melakukan kejahatan saja. Dalam pasal 53 ayat (1) KUHP dikatakan bahwa, mencoba melakukan kejahatan (misdrijf) dipidana. Dalam pasal 54 KUHP juga ditegaskan bahwa mencoba melakukan pelanggaran (Belanda: overtrending) tidak dipidana.
Mengenai cakupan dari niat (Belanda: voornemen) pada umumnya para ahli hukum pidana sependapat bahwa hal ini mencakup semua bentuk kesengajaan, yaitu meliputi:
1. Sengaja sebagai maksud (Belanda: opzet als oogmerk);
2. Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian/keharusan; dan
3. Sengaja dengan kesadaran tentang kemungkinan atau dolus eventualis.
Adanya permulaan pelaksanaan yang menyatakan niat
Tidak seorangpun dapat dipidana hanya semata-mata karena adanya niat saja. Hukum pidana tidak mengenal adanya cogitationis poenam nemo patitur, yaitu tidak seorangpun dapat dipidananya atas apa yang semata-mata hanya ada dalam pikirannya.
Wujud suatu sikap fisik tertentu harus diwujudkan keluar, karenanya salah satu syarat dari percobaan tindak pidana adalah bahwa  telah adanya permulaan pelaksanaan.

2. Adanya permulaan pelaksanaan
Sebagaimana diketahui dalam hal percobaaan kejahatan, terdapat dua ajaran yang saling berhadapan, yaitu ajaran subjektif dan objektif yang berbeda pokok pangkal dalam memandang hal permulaan pelaksanaan. Perbedaan ini disebabkan karena ukuran yang digunakan adalah berbeda. Ajaran subjektif bertitik tolak dari ukuran batin si pembuat, sedangkan ajaran objektif bertitik tolak dari sudut wujud perbuatannya. Patutnya dipidana terhadap pencoba kejahatan menurut pandangan subjektif, adalah terletak pada niat jahat orang itu yang dinilai telah mengancam kepentingan hukum yang dilindungi. Sebaliknya menurut ajaran objektif, patutnya dipidana pencoba kejahatan karena wujud permulaan pelaksanaan itu telah dinilai mengancam kepentingan hukum yang dilindungi undang-undang.[6]

Pengertian permulaan pelaksanaan jika dilihat dari sudut proses atau tata urutan adalah berada diantara perbuatan persiapan dengan perbuatan pelaksanaan, atau dengan kata lain perbuatan pelaksanaan itu harus dimulai dengan permulaan pelaksanaan.
Pokok pangkal yang menjadi persoalan yang banyak dibicarakan oleh para ahli hukum adalah hal tentang persoalan apakah permulaan pelaksanaan dari niat (subjektif) ataukah permulaan pelaksanaan dari kejahatan (objektif). Menurut Moeljatno untuk membedakan antara perbuatan persiapan dengan permulaan biasanya dihubungkan dengan alasan dapat dipidananya percobaan melakukan kejahatan, menurut pandangan subjektif adalah terletak pada sikap batin yang jahat dari orang itu yang dinilai telah mengancam atau membahayakan kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang sedangkan menurut pandangan yang objektif adalah letak pada sifat perbuatan orang itu yang dinilai telah mengancam atau membahayakan kepentingan hukum yang dilindungi.[7]

Penganut teori percobaan objektif dan teori percobaan subjektif berbeda pendapat tentang apakah pelaksanaan niat atau pelaksanaan kejahatan. Menurut penganut teori percobaan objektif, pelaksanaan yang dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) KUHP adalah pelaksanaan kejahatan, sedangkan penganut teori percobaan subjektif, pelaksanaan yang dimaksudkan disitu adalah pelaksanaan niat.[8]

3. Pelaksanaannya tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri
Pelaksanaan tidak selesai bukan disebabkan kehendaknya pelakuadalah ketika melaksaksanaan itu tidak terselesaikan dengan sempura bukan karena kehendak pelaku namun adanya faktor-faktor lain yang menyebabkan tindak pidana tersebut tidak selesai dilaksanakan.[9]

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menyebutkan bahwa, yang tidak selesai itu adalah kejahatan, atau kejahatan itu tidak terjadi sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang, atau tidak sempurna memenuhi unsur-unsur dari kejahatan menurut rumusannya. Niat petindak atau pelaku untuk melaksanakan kejahatan tertentu yang sudah dinyatakan dengan tindakannya terhenti sebelum sempurna tejadi kejahatan itu. Melakukan tindakan untuk merugikan sesuatu kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang hukum pidana itu terhenti sebelum terjadi kerugian yang sesuai dengan perumusan undang-undang.

Keadaan diluar kehendak pelaku maksudnya adalah, setiap keadaan baik badaniah (fisik) maupun rohaniah (psikis) yang datangnya dari luar yang menghalangi atau menyebabkan tidak sempurna terselesaikan kejahatan itu.[10]

Tidak selesainya pelaksanaan menyebabkan perbuatan merupakan suatu percobaan, tidak selesainya pelaksanaan sehingga perbuatan itu diklasifikasi sebagai percobaan.
Tidak selesainya pelaksanaan itu dapat terjadi karena berbagai sebab, baik oleh sebab yang diluar kehendak si pelaku maupun oleh kehendak dari pelaku sendiri.[11]

Pelaku Percobaan kejahatan dibebenkan tanggung jawab pidana yang lebih ringan dari pada pelaku kejahatan selesai. Dasar pertimbangan pidana ini sudah barang tentu bukan berdasarkan ajaran subjektif, tetapi oleh ajaran objektif.

Menurut ajaran objektif, patutlah diperingan atau diringankan pidana pidana bagi pencoba kejahatan, karena kejahatan itu tidak terjadi, pembuatnya dan atau apa yang diinginkannya tidaklah terjadi, yang artinya secara objektif belumlah ada kepentingan hukum yang benar-benar terlanggar, sekedar baru mengancam kepentingan hukum tertentu. Menurut ketentuan pasal 53 ayat  (2) KUHP menyatakan bahwa maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiganya.

Sumber-Sumber
[1] P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung, Citra Aditya Bakti : 1997) hal. 535
[2] D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, (Bandung, Citra Aditya Bakti : 2011) hal. 201
[3] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, Eresco : 1986) hal. 97
[4] Muhammad Ekaputra, Abul Khair, , Op.cit, hal. 1
[5] Adami Chazawi, Percobaan dan Penyertaan Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta, Rajagrafindo Persada : 2005) hal. 7
[6] Adami Chazawi, Percobaandan Penyertaan Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta, Rajagrafindo Persada : 2005) hal. 17
[7] Ibid, hal. 21
[8] Frans Maramis, Op.cit, hal. 204-206
[9] Muhammad Ekaputra, Abul Khair, Op.cit, hal. 25
[10] Ibid, hal. 26
[11] Frans Maramis, Op.cit, hal. 209

Membaca dan Menulis Disini

Post a Comment

0 Comments