Hak
eksekutif diluar hak-hak yang telah diberikan kepada presiden oleh konstitusi
menjadi hal yang sentral untuk dibahas. Misalnya dalam Pasal 17 ayat (2) UUD
1945 disebutkan bahwa menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
Bandingkan dengan ketentuan mengenai pengangkatan duta dan konsul yang harus
melalui pertimbangan DPR21. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah
kekuasaan mengangkat menteri adalah hak prerogatif presiden, sedangkan
pengakatan duta dan konsul bukanlah merupakan hak prerogatif presiden? Apakah
untuk disebut hak prerogatif harus dinyatakan secara tegas dalam UUD 1945?
Bagaimana misalnya dengan pengangkatan pejabat eksekutif lain tidak disebutkan
dalam UUD 1945?
Mengenai
hal tersebut diatas terdapat beberapa perbedaan pandangan. Saldi Isra mengutip
pendapat Bagir Manan menyatakan bahwa hak prerogatif merupakan hak presiden
yang diberikan langsung oleh konstitusi. Sebagai contoh yang paling eksplisit
adalah hak untuk mengangkat menteri sebagai pembantu presiden sebagaimana
diatur dengan tegas dalam pasal 17 UUD 1945. Namun berbeda pada saat presiden
akan mengubah lembaga atau institusi kementerian negara, hal ini harus dilaksanakan
dengan persetujuan DPR. Sehingga yang demikian bukanlah merupakan bagian dari
hak prerogatif presiden.
Pendapat
lain menyatakan bahwa hak yang dimiliki presiden sepanjang hak tersebut adalah
konstitusional maka merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif presiden.
Pendapat ini tidak khusus menunjuk pada konsep yang disebut sebagai hak
prerogatif namun lebih kepada hak yang dimiliki oleh presiden secara
konstitusional. Ide ini misalnya disampaikan oleh mantan hakim Mahkamah
Konstitusi Hardjono, yang menyatakan bahwa setiap hak yang dimiliki secara
konstitusional oleh presiden merupakan hak eksekutif yang juga adalah hak
prerogatif itu sendiri. Dalam sebuah kesempatan, Hardjono menyatakan bahwa
belum ada penjelasan mengenai apa itu hak prerogatif presiden. Apabila ada hak
prerogatif, lalu apa yang bukan hak prerogatif presiden?
Selanjutnya
adalah pendapat yang menyatakan bahwa hak prerogatif merupakan hak presiden
untuk mengisi sesuatu yang tidak diatur dalam konstitusi. Menurut pendapat
Zaenal Arifin Mochtar hak prerogatif ini mengisi sesuatu yang tidak diatur
secara detail dalam konstitusi. Contohnya adalah ketika Presiden menarik calon
Kapolri yang sudah melalui seleksi di DPR. Bagi penganut ide ini, hal tersebut
adalah bagian dari constitutional power karena tidak diatur di undang-undang
mana pun, termasuk tidak diatur dalam Undang-Undang Kepolisian.
Apabila
ditelusuri dari sisi sejarah, pendapat terakhir yang menyatakan bahwa hak
prerogatif merupakan constitutional power presiden untuk mengisi yang tidak
diatur secara detail dalam konstitusi merupakan pendapat yang paling kuat. Hak
ini tidak harus tertulis atau dinyatakan dalam teks konstitusi. Hal ini sejalan
dengan definisi prerogatif yang disampaikan oleh John Locke sebagai the “[p]ower to act according to discretion, for
the public good, without the prescription of the Law, and sometimes even
against it25. Hal ini berarti hak prerogatif tidak selalu dinyatakan secara
jelas dalam konstitusi. Namun demikian, lebih lanjut John Locke menyatakan
bahwa “prerogatif is supposed to be used only in extraordinary circumstances
and only until the Legislature can remedy whatever defect in the law requires
resort to extra-legal measures, but the notion that any individual is ever
allowed to exercise such enormous discretionary power is difficult to square
with a commitment to limited government and the rule of law”. Oleh
karenanya, meskipun eksekutif dilengkapi dengan hak prerogatif namun penggunaan
hak tersebut tidak dapat digunakan sewaktu-waktu dengan sekehendak hatinya.
Konsep
mengenai hak prerogatif sebagaimana disebut oleh John Locke berarti
bertentangan dengan ide disampaikan oleh Saldi Isra yang menyatakan bahwa hak
prerogatif adalah hak yang diberikan langsung oleh konstitusi. Meskipun
pendapat ini masih perlu diperdalam apakah dengan demikian Presiden masih
memiliki hak lain selain yang diberikan langsung oleh konstitusi? Ataukah mungkin
presiden memiliki hak lain diluar konstitusi yang berarti bukan merupakan hak
prerogatif?. Selanjutnya, Clement Fatovic menyampaikan bahwa “prerogatif as an aberration from the normal
operation of executive power. Whereas prerogative is a highly discretionary
power that operates outside the bounds of the law, executive power is a
rule-bound power that operates within the bounds of the law”. Ide ini
berarti juga tidak sejalan dengan konsep yang disampaikan oleh Hardjono yang
menyatakan bahwa setiap hak yang dimiliki secara konstitusional oleh presiden
merupakan hak eksekutif yang juga adalah hak prerogatif itu sendiri.
Berdasarkan pendapat Clement Fatovic diatas, maka jelas terdapat perbedaan atas
hak eksekutif dengan hak prerogatif. Hak eksekutif merupakan yang telah diatur
secara hukum, sedangkan hak prerogatif dapat dijalankan meskipun tidak diatur
secara tekstual oleh undang-undang.
Pada
awal pendirian negara Amerika Serikat, perdebatan mengenai apa yang akan menjadi
kekuasaan presiden dan sejauh mana batas-batas kekuasaannya, menjadi pembahasan
yang sangat penting. Para pihak yang menentang dibentuknya lembaga presiden
dengan kekuasaan eksekutifnya menyatakan bahwa presiden dikhawatirkan nantinya
tidak akan berbeda dengan Raja yang memiliki hak prerogatif bahkan akan
ditambah hak lain yang diatur dalam konstitusi. Sejarah menunjukkan bahwa hak
prerogatif pada awalnya adalah hak yang dimiliki oleh Raja Inggris (royal prerogatives) sebagai panglima
angkatan bersenjata, hak untuk melolak rancangan peraturan (absolute veto), kewenangan penuh untuk mengangkat pejabat dan
hakim, memberikan grasi dan amnesti, membuat perjanjian dengan negara lain,
serta mengirim dan menerima duta serta pejabat kunci lainnya. Menjawab keraguan
tersebut, Alexander Hamilton sebagai salah satu penggagas sistem presidensial
menyatakan bahwa hak yang akan dimiliki oleh presiden berbeda dan lebih
terbatas dibanding dengan hak yang dimiliki oleh raja (royal prerogatives). Perbedaan antara kekuasaan Presiden dengan
royal prerogative antara lain adalah presiden tidak akan memiliki kekuasaan
mutlak untuk menolak pengesahan undang-undang (qualified negative veto), memiliki kewenangan bersama dengan
legislatif dalam membuat perjanjian dengan negara lain, danmemiliki kewenangan
bersama dengan legislatif dalam memilih pejabat negara.
Alexander
Hamilton dan sebagian besar pendiri negara Amerika Serikat merupakan ahli hukum
yang memperoleh pendidikan hukum di Inggris. Para penggagas sistem presidensial
di Amerika Serikat saat itu memiliki tugas yang berat untuk meyakinkan
rakyatnya bahwa sistem presidensial yang sedang dirumuskan tidak akan
menyerupai kekuasaan raja yang tidak terbatas30. Secara lebih sederhana, Zaenal
Arifin Mochtar yang juga mengutip pendapat Alexander Hamilton menjelaskan bahwa
“presiden ini sebenarnya raja yang kemudian diubah sedikit, lalu disematkan
nama presiden. Presiden tidak berbeda dengan raja, hanya sifting sedikit karena
Amerika Serikat tidak suka dengan model parlementer Inggris. Hal ini
dikarenakan trauma sejarah karena mereka pernah dijajah Inggris. Sehingga
sistem yang semula parlementer ditarik sedikit menjadi presidensial”. Pada
akhirnya konstitusi Amerika Serikat menyatakan bahwa hak veto presiden dapat
dibatalkan dengan keputusan super majority congress, mensyaratkan adanya
persetujuan senat agar perjanjian internasional dapat berlaku secara mengikat
dalam yurisdiksi pengadilan Amerika Serikat (legally
binding), serta persetujuan senat dalam proses pemilihan public minister.
Berbeda
dengan negara yang menganut sistem presidensial, negara-negara bekas koloni
Inggris dan menganut sistem pemerintahan parlementer sampai saat ini masih
mempertahankan royal prerogative sebagai salah satu dasar kekuasaan eksekutif.
Sebagai contoh di New Zeland, royal prerogative yang merupakan bagian dari
common law atau hukum tidak tertulis menjadi salah satu dasar kewenangan
eksekutif yang bersamaan kedudukannya dengan undang-undang dan kewenangan
residuary yaitu tindakan pemerintahan yang tidak dilarang oleh hukum. BV Haris
memberikan gambaran kekuasaan royal prerogatif yang saat ini masih ada antara
lain adalah kewenangan untuk mengangkat gubernur jenderal, kewenangan untuk
membuat perjanjian, menyatakan perang dan memberikan grasi. Sedangkan di
Canada, saat ini kekuasaan prerogatif yang merupakan kekuasaan inheren
eksekutif dapat dibatasi dengan undangundang. John D. Richard menyatakan bahwa “the prerogative powers, which have their origins in the inherent
powers of the British monarch, exist today in only a limited fashion because
they can be abolished by the legislature. Examples of prerogative powers still
in existence include the powers to appoint the Prime Minister and the cabinet,
form treaties, issue passports, declare war, and grant appointments and honours”.
Meski sampai saat ini masih eksis di negaranegara bekas koloni Inggris, namun
kekuasaan royal pregative ini mulai mendapatkan kritik karena rawan
disalahgunakan oleh penguasa dan disarankan untuk diganti dengan kekuasaan
definitif berdasarakan perundang-undangan (statutory
authority).
Indonesia
dapat dikatakan masih belum memiliki bangunan konseptual yang jelas mengenai
hak prerogatifpresiden sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif presiden. Hal
tersebut nampak misalnya pada pernyataan tiga ahli hukum tatanegara yaitu Saldi
Isra, Harjono dan Zaenal Arifin Mochtar sebagaimana diuraikan diatas. Hal ini
juga nampaknya luput dari bahasan para perumus perubahan UUD 1945. Denny
Indrayana bahkan menyatakan bahwa para perumus perubahan UUD 1945 kurang mendalami
mengenai mengapa dipilihnya sistem presidensial di Indonesia serta apa
konsekuensinya terhadap kekuasaan presiden. Mengenai hal ini Denny Indrayana
mengutip pendapat Andrew Ellis mengemukakan bahwa : “Yet no factions presented convincing reasons as to why the preamble,
the unitary state and the presidential system should not be amended. PDIP,
which was in favor of the preservation, was vague about its reasons. With
regard to the preamble, the PDIP repeated the argument it had put in the First
Amendment discussions, that the preamble contained the state philosophy, the
Pancasila. This argument reaffirmed the nationalist-secular faction position,
of rejecting an Islamic state. The PDIP’s basic argument, in favor of the
unitary state, was merely based on the third principle of the Pancasila of ‘the
unity of Indonesia’.As for maintaining the presidential system, the PDIP
presented no supporting argument at all”.
Sebagai
negara yang menganut sistem presidensial, pendekatan yang menyatakan bahwa hak
prerogatif merupakan constitutional power presiden untuk mengisi ruang yang
tidak diatur secara detail dalam konstitusi, nampaknya cocok untuk diterapkan
di Indonesia karena pendapat ini didukung dari pengalaman sejarah (historical practices) maupun teori
konstitusi. Meski demikian, pendapat John Locke yang menyampaikan bahwa
constitutional power ini perlu dibatasi penggunaannya pada keadaan yang
bersifat luar biasa sampai dengan lembaga legislatif dapat mengatur kondisi
tersebut patut untuk menjadi perhatian. Hal ini penting dikarenakan penggunaan
hak prerogatif yang tidak terbatas, secara nyata akan bertentangan dengan
prinsip kepastian yang menjadi fondasi penting dalam negara hukum.
0 Comments
Bijaklah Dalam Berkomentar