Pada dasarnya Negara Republik Indonesia menjamin kebebasan beragama setiap orang dan hak setiap orang untuk beribadah sesuai dengan agamanya. Hal ini tercermin dari beberapa pasal dalam peraturan perundang-undangan berikut ini:
1. Pasal 28 E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”)
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
2. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
.
3. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”)
“Hak. untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”
4. Pasal 22 UU HAM
1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
.
Ketentuan pidana bagi orang yang menghalang-halangi kegiatan keagamaan atau upacara keagamaan yang diizinkan, dapat dijerat dengan Pasal 175 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan, atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.”
Mengenai Pasal 175 KUHP ini, R. Soesilo menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan:
1. “pertemuan umum agama” adalah semua pertemuan yang bermaksud untuk melakukan kebaktian agama;
2. “upacara agama” adalah kebaktian agama yang diadakan baik di gereja, mesjid, atau di tempat-tempat lain yang lazim dipergunakan untuk itu;
3. “upacara penguburan mayat” adalah baik yang dilakukan waktu masih ada di rumah, baik waktu sedang berada di perjalanan ke kubur, maupun di makam tempat mengubur.
Lebih lanjut, R. Soesilo mengatakan bahwa syarat yang penting adalah “pertemuan umum agama” tersebut tidak dilarang oleh negara.
.
Merujuk pada pasal di atas, jelas bahwa pertemuan yang bermaksud untuk melakukan acara keagamaan (tanpa menyebutkan di tempat tertentu) yang telah diizinkan, tidak boleh dihalang-halangi. Yang menghalang-halangi dapat dipidana sebagaimana diuraikan di atas.
Jika yang dilakukan oleh pelaku adalah sengaja menimbulkan kegaduhan pada pertemuan keagamaan, maka dapat dipidana dengan Pasal 176 KUHP:
.
Adapun berikut bunyi pasal 176 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja mengganggu pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan atau upacara penguburan jenazah, dengan menimbulkan kekacauan atau suara gaduh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.”
Jadi pada dasarnya negara menjamin kebebasan semua orang untuk beribadah menurut agamanya masing-masing. Sejauh ini tidak ada aturan yang melarang pelaksanaan acara keagamaan di tempat umum.
.
.
Sumber: Sovia Hasanah, S.H., Jerat Hukum Bagi Pihak yang Menghalang-halangi Kegiatan Keagamaan, hukumonline.com
Credit MALUFAKUM
0 Comments
Bijaklah Dalam Berkomentar