A. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan
hidup bangsa telah disepakati oleh seluruh bangsa Indonesia. Notonagoro (dalam
Tim MPR RI, 2013:90) mengatakan, ”lima unsur yang terdapat pada Pancasila
bukanlah hal yang baru pada pembentukan Negara Indonesia, tetapi sebelumnya dan
selama-lamanya telah dimiliki oleh rakyat bangsa Indonesia yang nyata ada dan
hidup dalam jiwa masyarakat”. Meskipun demikian ternyata dalam
perwujudannya diantaranya pernah ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai
dasar negara dan pandangan hidup bangsa dengan ideologi lainnya.
Kini di abad 21 manakala bangsa kita memasuki era
globalisasi, tantangan dan ancaman terhadap Pancasila semakin besar. Fenomena
yang terjadi menunjukkan Pancasila sebagai filosofi bangsa akhir-akhir ini
ditenggelamkan, dimarjinalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai
peristiwa dalam masyarakat misalnya sifat beringas dan keras dalam setiap
penyelesaian masalah baik sosial, politik, kebudayaan, hukum bahkan persoalan
keagamaan, paham-paham materialisme, individualisme, hedonisme serta
pragmatisme telah mewabah dalam kehidupan bermasyarakat.
Semua itu hanya bisa diatasi melalui pendidikan yang
dikaitkan dengan proses pembentukan karakter warganegara, sesuai rekomendasi
dari hasil penelitian lintas negara yang dilakukan oleh “Civic Education Policy
Study” (CEPS) yang menyatakan bahwa visi kewarganegaraan dari sebuah negara
yang multidimensi harus berpusat pada kebijakan pendidikan jika menginginkan
generasi muda yang siap menghadapi tantangan secara efektif dua puluh lima
tahun ke depan (Cogan & Derricott, 1998:116). Pendidikan yang dimaksud
terjadi baik melalui pengalaman langsung dengan cara mencontoh dari pengalaman
langsung berbagai macam norma dan perilaku yang ada dalam masyarakat ataupun
melalui pengenalan dunia simbolik dalam masyarakat. Salah satu bagian dari
upaya pendidikan bagi warganegara yang sangat fundamental adalah memahami
Pancasila sebagai filosofi bangsa Indonesia melalui mata pelajaran Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan.
B. Pancasila, mengapa tidak ?
Pancasila adalah dasar filsafat negara Republik Indonesia
yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945, diundangkan dalam Berita Indonesia Tahun II No 7 bersama-sama dengan
batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Kaelan,
2014:1). Sepanjang perjalanannya, penerapan Pancasila di era Orde Lama, Orde
Baru maupun Orde Reformasi banyak menghadapi berbagai masalah, namun pada
akhirnya dapat diatasi oleh bangsa Indonesia itu sendiri.
Pancasila yang seharusnya sebagai nilai, dasar moral etik
bagi negara dan pemerintah dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi
politik. Tantangan yang tidak kalah beratnya adalah perkembangan dunia yang
sangat cepat dan mendasar dari globalisasi. Sehingga memungkinkan terjadinya
penyusupan ideologi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam
kehidupan bernegara ideologi menentukan kepribadian nasional, sehingga mampu
mempersatukan aspirasi atau cita-cita suatu kehidupan yang diyakini sebagai
terbaik, serta mempersatukan perjuangan untuk mewujudkan cita-cita tersebut
(Kaelan, 2015:32).
Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia memiliki
ajaran-ajaran yang mengandung nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi lain.
Liberalisme mengutamakan kebebasan individu, sedangkan sosialisme komunisme
menonjolkan kepentingan negara lebih diutamakan daripada kepentingan warganya.
Pancasila memandang manusia sebagai individu dan sekaligus juga makhluk sosial
yang dikenal dengan paham integralistik (Oesman dan Alfian, 1990:201). Selain
itu, Pancasila berakar pada pandangan hidup bangsa dan falsafah bangsa sehingga
memenuhi prasyarat menjadi ideologi terbuka. Ideologi Pancasila
dapat berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kecerdasan kehidupan
bangsa. Alasan Pancasila memiliki kedudukan sebagai ideologi terbuka menurut
Winarno (2007:6) bahwa Pancasila bersumber pada kondisi obyektif, konsep,
prinsip dan nilai-nilai orisinal masyarakat Indonesia sendiri. Keterbukaan
ideologi Pancasila terutama ditujukan dalam penerapannya yang berbentuk pola
pikir yang dinamis. Dalam tingkatan nilai ada tiga tingkat nilai yaitu nilai
dasar yang tidak berubah, nilai instrumental sebagai sarana mewujudkan nilai
dasar yang dapat berubah seusia keadaan dan nilai praksis berupa pelaksanaan
secara nyata yang sesungguhnya.
A. Penguatan Implementasi Nilai-Nilai Pancasila
Pancasila sebagai dasar negara serta
pandangan hidup bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai
yang bersifat sistematis, fundamental dan menyeluruh. Maknanya dalam setiap
aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan dan kenegaraan harus berdasarkan
nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan.
Nilai-nilai inilah sebagai nilai dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kaelan (2015:147) menyebutnya sebagai nilai kerohanian. Selain nilai
kerohanian, Pancasila juga mengandung nilai lainnya secara lengkap dan harmonis,
baik nilai material, vital, kebenaran (kenyataan), estetis, etis maupun nilai
religius. Nilai-nilai Pancasila merupakan hasil pemikiran yang dianggap paling
tinggi sebagai hasil pemikiran yang maksimal, bijaksana dan baik. Atas dasar
ini nilai-nilai Pancasila berguna sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Perwujudan nilai-nilai Pancasila dilaksanakan dalam berbagai
kehidupan baik bidang politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan.
Implementasi Pancasila merupakan penerapan
nilai-nilai Pancasila dalam bentuk sikap, perilaku dan moral yang sangat
tergantung pada kesadaran moral masing-masing individu warganegara. Pancasila
sebagai pandangan hidup bangsa (dalam Notonagoro, 1980:30) disebut sebagai
pelaksanaan Pancasila secara subyektif yaitu pelaksanaan Pancasila oleh setiap
individu. Pelaksanaan Pancasila secara subyektif berkaitan dengan kesadaran,
kesiapan serta ketaatan individu untuk melaksanakan Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehari-hari. Dalam pengertian ini
pelaksanaan Pancasila secara subyektif mewujudkan suatu bentuk kehidupan
kesadaran wajib hukum yang terpadu menjadi kesadaran wajib moral. Oleh karena
itu perbuatan yang tidak memenuhi kewajiban ini tidak saja menimbulkan akibat
hukum, tetapi juga mengakibatkan adanya akibat atau sangsi moral. Sikap dan
tingkah laku nyata individu sebagai realisasi Pancasila secara subyektif
disebut Moral Pancasila.
Aktualisasi Pancasila yang bersifat
subyektif sangat berkait dengan kondisi obyektif yakni berkait dengan
norma-norma moral itu sendiri. Bilamana nilai-nilai Pancasila secara subyektif
telah dipahami, dihayati dan diinternalisasi dalam diri seseorang, maka
individu tersebut dikatakan telah memiliki moral pandangan hidup. Jika hal ini
dapat berlangsung terus menerus dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
nilai-nilai Pancasila benar-benar telah mempribadi, menginternalisasi dan
menyatu raga dalam diri seseorang maka dikatakan Pancasila telah menjadi
kepribadian bangsa Indonesia. Dengan demikian, pada akhirnya bangsa Indonesia
memiliki suatu kepribadian sendiri atau memiliki ciri khas (karakter) sendiri,
yang berbeda dengan kepribadian bangsa-bangsa lain.
hafalan, pengetahuan, kurang pada tataran
interaksi tindakan perilaku sehari-hari. Padahal pendidikan hendaknya tidak
hanya terkait dengan transfer ilmu dan teknologi namun juga harus mampu
membentuk nilai serta karakter bangsa.
Sejumlah penelitian tentang dampak dan
pemanfaatan internet menunjukkan bahwa internet dapat menjadi sumber utama
untuk belajar apa yang sedang terjadi di dunia seperti untuk hiburan,
bergembira, relaksasi, untuk melupakan masalah, menghilangkan kesepian, untuk
mengisi waktu, bahkan sebagai kebiasaan dan melakukan sesuatu dengan teman dan
keluarga (Severin dan Tankard, 2005:454). Persoalan yang kemudian muncul adalah
bagaimana dampak yang ditimbulkan dari media internet terhadap karakter siswa?
Siswa remaja sebagai salah satu pengguna internet belum mampu memilah aktivitas
internet yang bermanfaat, dan cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungan
sosial tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu efek positif atau negatif yang
akan diterimanya. Terlebih lagi perusahaan-perusahaan yang terkait dengan dunia
internet dan pemasaran selalu menjadikan kaum muda sebagai "tambang
emas" demi keuntungan belaka.
Fasilitas internet dan fungsi perannya
dapat menimbulkan pengaruh positif maupun negatif dalam kehidupan manusia.
Berbagai pengaruh positif diantaranya memperluas pertemanan, menambah wawasan
pengetahuan, berinteraksi dan memperlancar komunikasi serta memudahkan berbagai
aktivitas baik dalam bekerja, berbelanja maupun mendapatkan informasi-informasi
edukatif. Pengaruh Iainnya diakibatkan terbukanya akses negatif bagi siswa
remaja dengan banyaknya informasi buruk yang membanjiri internet (Setiawan,
2009:28). Dari internet akan didapatkan materi seks, kekerasan dan Iain-lain
dijajakan secara terbuka dan tanpa penghalang. Bisnis pornografi merupakan
salah satu bisnis nomor satu dalam dunia online. Bahkan tanpa diundang, situs
seperti itu bisa saja muncul tiba-tiba baik melalui e-mail maupun layar pop-up.
Bahkan di dunia maya seorang anak bisa menjadi orang Iain yang diinginkan,
misalnya seorang anak yang pemalu dapat dengan mudah berkenalan melalui
chatting atau e-mail, melalui game online mereka dapat mengu bah karakter
menjadi cantik, kaya, kuat atau hal Iain yang mungkin berbeda dengan kehidupan
nyata. Menggunakan fasilitas internet secara berlebihan dapat menyebabkan
seseorang kehilangan kontrol diri sehingga mengabaikan tugas pokok kehidupan
sebagai pribadi, keluarga ataupun sekolah.
Dengan demikian penggunaan internet sebagai
sarana komunikasi dan informasi harus diarahkan serta dibimbing oleh orang tua
maupun pihak sekolah ataupun lembaga-lembaga Iainnya dalam masyarakat. Tanpa
adanya pengawasan yang memadai mengingat informasi-informasi yang disediakan di
internet sangat beragam dan banyak diantaranya tidak cocok untuk dikonsumsi
remaja, maka jika dibiarkan akan berdampak buruk bagi perkembangan karakter
mereka. Bimbingan dalam penggunaan internet akan mengarahkan mereka untuk
menambah informasi dan pengetahuan yang didapatkan dari internet sebagai wahana
sumber informasi yang dapat mendukung perilaku percaya diri sehingga mereka
dapat lebih kreatif dalam berfikir dan bertindak.
B. PEMBARUAN DALAM PEMBELAJARAN
"Bangsa yang benar-benar dapat memanfaatkan
ledakan komunikasi digital, dan menghubungkannya dengan teknik-teknik
pembelajaran baru, niscaya akan memimpin dunia di bidang pendidikan"
pernyataan Drucker dalam Suryadi (2006:33) hendaknya dipersepsikan untuk memicu
munculnya pemikiran ulang tentang metode belajar dan mengajar. Substansi
pendidikan menuntut pembelajaran bersifat multidimensional dan multi
sumber-media.
Proses pembelajaran disamping memakai kemampuan
intelektual juga selalu melakukan proses emoting, spiritualizing dan valuing
terhadap seluruh dimensi normreference yang ada (diyakini yang bersangkutan dan
atau kehidupannya) sebelum pengambilan keputusan (taking position) (Djahiri,
2006:7). Pendekatan pembelajaran demikian diyakini dapat mereduksi dampak
lajunya perkembangan teknologi di era globalisasi. Model Iainnya adalah membuat
siswa semakin melek media (media literate). Para siswa membutuhkan pengetahuan
dan ketrampilan menggunakan kemajuan teknologi sehingga mereka akan mampu
memfilter diri terhadap beragam informasi.Pendidikan hendaknya mampu
mengembangkan model pembelajaran agar siswa dalam menggunakan internet dapat
memanfaatkan kecanggihan teknologi tersebut untuk kepentingan edukatif dan
produktif, bukan berdasarkan kesenangan atau hiburan belaka yang melahirkan
kontraproduktif sehingga menghancurkan sikap, perilaku dan karakter pribadinya.
Keterpaduan, kesinambungan dan keberlanjutan pendidikan karakter baik di
sekolah dan di luar sekolah diharapkan mampu menghasilkan generasi bangsa yang
memiliki watak, karakter kuat dan kokoh terutama pada saat menghadapi
dahsyatnya informasi dari media internet.
DAFTAR PUSTAKA
Djahiri, A.K. (2006), "Esensi Pendidikan Nilai Moral
dan Pendidikan Kewarganegaraan di Era Globalisasi, " Pendidikan Nilai
Moral dalam Dimensi Pendidikan
Kewarganegaraan, Bandung : Laboratorium PKn FPIPS UPI.
Setiawan, T. (2009). Internet Untuk Anak : Panduan Wajib
bagi Orang Tua, Yogyakarta : A'Plus Book.
Severin, W.J and Tankard, J.W. (2005). Communication
Theories, Methods & Uses in The Massa Media, Teori Komunikasi : Sejarah,
Metode & Terpaan di dalam Media Massa. Edisi Kelima. Jakarta :
Prenada Media.
Suryadi, A. (2006). "Model Pembelajaran Alternatif
Menuju Reformasi Pembelajaran (School Reform)", Pendidikan Nilai Moral
dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung : Laboratorium PKn
FPIPS IJPI.
0 Comments
Bijaklah Dalam Berkomentar