Prosedur Penggunaan Senjata Api Oleh Kepolisian



Diberikannya kewenangan bagi anggota kepolisian untuk menggunakan senjata api yang bertujuan untuk melindungi masyarakat, dan digunakan dalam keadaan darurat.
.
Tetapi fenomena yang terjadi pada saat ini banyaknya oknum anggota Polri yang menyalahgunakan penggunaan senjata api sebagai tindakan diluar kewenangannya.

Para oknum polri nakal ini biasanya menggunakan senjata apinya sebagai alat untuk mengancam dan menakut-nakuti masyarakat yang terlibat masalah dengan oknum polri tersebut.

Kebanyakan dari mereka yang menjadi korban penodongan ini lebih memilih untuk bungkam dari pada melapor kepada pihak yang berwenang, akibat kurangnya pengetahuan tentang aturan hukum yang berlaku bagaimana prosedur penggunaan senjata api yang tepat.

Menurut Pasal 47 Perkap No. 8 Tahun 2009  Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, penggunaan senjata api diperbolehkan apabila :
.
1. Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia;
2. Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk;
a. Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
b. Membela diri dari ancaman kematian atau luka berat;
c. Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
d. Mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang;
e. Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan
f. Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.

Semetara itu, menurut (Pasal 8 ayat [1] Perkap No. 1 Tahun 2009) Penggunaan senjata api dilakukan apabila:
.
a. Tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat
b. Anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut
c. Anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakatPada prinsipnya, penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka (Pasal 8 ayat [2] Perkapolri 1/2009).


Jadi, penggunaan senjata api oleh polisi hanya digunakan saat keadaan adanya ancaman terhadap jiwa manusia.
.
Sebelum menggunakan senjata api, polisi harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara (Pasal 48 huruf b Perkapolri 8/2009):

1. Menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas;
2. Memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya; dan
3. Memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi

Sebelum melepaskan tembakan, polisi juga harus memberikan tembakan peringatan ke udara atau ke tanah dengan kehati-hatian tinggi dengan tujuan untuk menurunkan moril pelaku serta memberi peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada pelaku (Pasal 15 Perkapolri 1/2009).

Pengecualiannya yaitu dalam keadaan yang sangat mendesak di mana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain di sekitarnya, peringatan tidak perlu dilakukan (Pasal 48 huruf c Perkapolri 8/2009).

Bagaimana pertanggungjawaban polisi terhadap penggunaan senjata api?
.
Jika ada pihak yang dirugikan atau keberatan karena penggunaan senjata api, petugas polisi yang bersangkutan wajib membuat penjelasan secara terperinci tentang alasan penggunaan senjata api, tindakan yang dilakukan dan akibat tindakan yang telah dilakukan (Pasal 49 ayat [2] huruf a Perkapolri 8/2009).

Selain itu, setelah menggunakan senjata api, polisi harus membuat laporan terperinci mengenai evaluasi pemakaian senjata api. Laporan tersebut berisi antara lain (Pasal 14 ayat [2] Perkapolri 1/2009):

a. Tanggal dan tempat kejadian;
b. Uraian singkat peristiwa tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, sehingga memerlukan tindakan kepolisian;
c. Alasan/pertimbangan penggunaan kekuatan;
d. Rincian kekuatan yang digunakan;
e. Evaluasi hasil penggunaan kekuatan;
f. Akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan tersebut.
Laporan inilah yang akan digunakan untuk bahan pertanggungjawaban hukum penerapan penggunaan kekuatan, serta sebagai bahan pembelaan hukum dalam hal terjadi gugatan pidana/perdata terkait penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota Polri yang bersangkutan (Pasal 14 ayat [5] huruf e dan f Perkapolri 1/2009).

Pada prinsipnya, setiap individu anggota Polri wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan penggunaan kekuatan (senjata api) dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya (Pasal 13 ayat [1] Perkapolri 1/2009).

Oleh karena pertanggungjawaban secara individu terhadap penggunaan senjata api oleh polisi, maka penggunaan senjata api yang telah merugikan pihak lain karena tidak mengikuti prosedur dapat dituntut pertanggungjawabannnya secara perdata maupun secara pidana.

Sumber: Ilman Hadi, S.H., Prosedur Penggunaan Senjata Api oleh Polisi, hukumonline.com

Credit MALUFAKUM


Membaca dan Menulis Disini

Post a Comment

0 Comments