Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan Permohonan Pembatalan Perjanjian


A. Cacat Kehendak Dalam Perjanjian

Perjanjian merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda  overeenkomst  yang berasal dari kata kerja  overeenkomen , artinya setuju atau sepakat. Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh karena itu formulasi perjanjian pasti berisi kesanggupan / janji-janji atau hak dan kewajiban dari pihak yang menutup perjanjian.

Untuk syahnya perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: 1) perjanjian berdasarkan kesepakatan ( konsensus ); 2) berjanji harus dibuat oleh orang yang cakap untuk membuat perjanjian; 3) obyek berjanji harus jelas atau tertentu; dan 4) berjanji memiliki sebab ( causa ) yang halal. Syarat pertama dan kedua subyek yang menyatakan yang menyatakan ketiga dan keempat mengenai obyek. Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut memiliki keluhan yang berbeda, yaitu tidak dipenuhinya syarat subyektif konsekuensinya adalah dapat dibatalkan ( vernietigbaar ) sedangkan tidak dipenuhinya syarat obyektif mengakibatkan perjanjian batal demi hukum (nietig ).

Dalam Pasal 1320 KUHPerdata terkandung asas konsensualisme, yaitu diperlukannya sepakat ( toestemming ) untuk lahirnya perjanjian. Dengan hanya sepakat dalam Pasal 1320 KUHPerdata tanpa dituntut formalitas apapun, dapat disimpulkan bahwa bahwa 'sudah sepakat kata sepakat, maka syahlah perjanjian itu (Subekti, 1995: 4). Sepakat adalah pertemuan antara dua kehendak, kehendak orang yang satu mengisi dengan apa yang dikehendaki oleh pihak lain (J. Satrio, 2001: 165). Sepakat dapat juga diartikan sebagai penawaran ( aanbod ) yang diterima oleh lawan jinya.

Masalahnya adalah bagaimanakah bila pernyataan kehendak yang menutup perjanjian adalah cacat?. Pasal 1321 KUHPerdata dari bahwasanya tiada sepakat yang syah setuju setuju itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata hal tersebut adalah melawan syarat subyektif berjanji yang menanggung beban perjanjian dapat dimohonkan pembatalannya oleh salah satu pihak kepada hakim.

Buku III KUHPerdata menganut sebagai kebebasan dalam membuat perjanjian ( beginel der contractvrijheid ). Setiap kata sepakat ( konsensus ) yang terjadi diantara para pihak (kebebasan berkontrak) akan menimbulkan perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak yang menutup perjanjian ( pacta sunt servanda ). Oleh KARENA ITU Cacat kehendak KARENA kekhilafan ( dwaling ), paksaan ( dwang ) Dan penipuan ( bedrog ) sebagai Alasan untuk review membatalkan perjanjian maupun perjanjian TIDAK boleh bertentangan DENGAN kesusilaan, kepatutan Dan kepentingan Sales manager PADA hakekatnya Adalah pembatasan Terhadap asas Kebebasan berkontrak.

Kebebasan berkontrak memang sering menimbulkan ketidakadilan yang memerlukan tempat ( posisi tawar ) yang seimbang dari pihak yang menutup perjanjian. Seringkali dalam posisi yang tidak seimbang menyebabkan pihak dalam posisi yang lebih tinggi, mendiktekan kemauannya kepada pihak lawan janjinya.

Dalam perkembangannya, cacat kehendak juga dapat terjadi dalam hal apa adanya keadaan keadaan ( misbruik van omstandigheden / undue effect ). Di Negeri Belanda, menurut Pasal 3: 44 NBW (sejak Januari 1992) perjanjian dapat dibatalkan oleh satu pihak dalam melakukan perjanjian tersebut berada dalam keadaan darurat atau udah atau dalam keadaan di mana pihaknya yang mengadakan keadaan psikologis yang kuat dan menyalahgunakan keadaan dalam membuat berjanji (Herlien Boediono, 2008: 17).

B. Perkembangan Penyalahgunaan Keadaan

Tinjauan dari  Bovag Arrest  III , HR 26 Februari 1960, NJ. 1965,373, maka hukum perjanjian di Negeri Belanda menerima keadaan sebagai alasan pembatalan perjanjian. Pembatalan atas alasan itu dapat dilakukan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Dalam buku ketiga Pasal 44 ayat (1)  Nieuw Burgerlijk Wetboek  (BW Baru) Belanda beri empat syarat untuk adanya pernyataan keadaan, yaitu:

1) Keadaan-keadaan istimewa  (bijzondere onstandigheden),  seperti keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras dan tidak berpengalaman.

2) Suatu hal yang nyata  (kenbaarheid),  diisyaratkan bahwa salah satu pihak yang melihat atau semestinya bahwa pihak lain dalam keadaan yang istimewa (hatinya) untuk menutup suatu akta perjanjian.

3) Penyalahgunaan ( misbruik  ),  salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun dia tidak melakukannya.

4) Hubungan kausal  (causaal verband),  adalah penting bahwa tanpa status keadaan itu maka perjanjian tidak ditutup.

Penyalahgunaan keadaan bukan hal baru dalam hukum perjanjian. Penyalahgunaan tidak dapat dibenarkan, tetapi cara mengkontruksikannya dahulu dan kini berbeda. Dahulu keadaan dikonstruksikan sebagai bertentangan dengan ketertiban umum atau tata karma yang baik ( geode zeden ) sehingga berkaitan dengan cacat  kausa  dari perjanjian. Perjanjian yang lahir dalam kondisi psikologis atau psikologis yang tidak seimbang yang tidak dapat menyebabkan salah satu pihak telah menutup perjanjian dengan prestasi yang tidak seimbang.

Konsekuensi dari cacat  causa  adalah perjanjian batal demi hukum ( nietig ) untuk seluruhnya. Hal itu dipandang tidak adil karena syringe semata-mata dari perjanjian yang menyatakan tidak adil oleh pihak yang dirugikan. Perjanjian juga menjadi pihak yang dapat dimintakan pembatalan oleh kedua belah pihak termasuk pihak yang menyalahgunakan keadaan keadaan tersebut ternyata merugikannya.

Pada hakekatnya, pengaturan keadaan tidak semata-mata dengan isi perjanjian yang tidak seimbang. Perjanjian pertentangan dengan tata krama / kesusilaan atas keadaan dasar keadaan yang mengiringi perjanjian tersebut. Menurut J. Satrio (2001: 319), sebenarnya mengambil keuntungan dari keadaan orang lain tidak menyebabkan isi dan tujuan perjanjian terlarang, tetapi kehendak yang disalahgunakan tidak diberikan dalam keadaan bebas. Dengan demikian diberlakukan bukan “ kausa / sebab ” yang terlarang, tetapi cacat dalam kehendak, cara “memaksakan” persetujuan “yang disalahgunakan”.

Kontruksi keadaan sebagai keadaan sebagai cacat yang membawa konsekuensi dapat dimohonkan pembatalannya ( vernietigbaar ) kepada hakim oleh pihak yang dirugikan. Sepanjang perjanjian belum dibatalkan, maka perjanjian tetap mengikat para pihak yang putuskan. Tuntutan pembatalan dapat dilakukan untuk sebagian atau seluruhnya dari isi perjanjian.

Penyalahgunaan keadaan dengan syarat subyektif perjanjian. Salah satu pihak menyalahgunakaan keadaan yang berakibat pihak lawan janjinya tidak dapat menyatakan kehendaknya secara bebas. Van Dunne vokalis menjadi 2 (dua), yaitu keunggulan keunggulan ekonomis dan keunggulan kejiwaan sebagai berikut (Henry P. Panggabean, 1992: 41):

1) Persyaratan-persyaratan untuk mendukung keunggulan ekonomis:

  1. satu pihak harus memiliki keunggulan ekonomis terhadap yang lain;
  2. pihak lain udah mengadakan perjanjian;

2). Persyaratan untuk menyatakan keunggulan kejiwaan:

  1. salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami, isteri, dokter pasien, pendeta jemaat;
  2. salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak pihak, seperti gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik, dan sebagainya;

Posisi tawar yang tidak seimbang dapat menjadikan salah satu pihak dalam keadaan udah saat menutup perjanjian. Lebih lanjut, J. Satrio (2001: 317-318) mengemukakan beberapa faktor yang dapat menjawab sebagai ciri status keadaan, yaitu:

1) Adanya keadaaan ekonomis yang menekan, kesulitan keuangan yang kedekatan, atau

2) Adanya hubungan atasan-bawahan, keunggulan ekonomis pada salah satu pihak, hubungan majikan-buruh, orang tua / wali-anak belum dewasa atau pun

3) Adanya keadaan lain yang tidak menguntungkan, seperti pasien yang membutuhkan pertolongan dokter ahli,

4) Perjanjian tersebut mengandung hubungan yang timpang dalam kewajiban timbal-balik antara para pihak (prestasi yang tak seimbang), seperti yang diharapkan dari mengatur dan menggesernya menjadi tanggungan buruh,

5) Kerugian yang sangat besar bagi salah satu pihak.

Praktek peradilan telah menerima keadaan sebagai salah satu alasan pembatalan perjanjian di samping alasan yang selama ini telah dikenal, yaitu: 1) Perjanjian dibuat oleh mereka yang tidak cakap (Pasal 1330 KUHPerdata); 2) Perjanjian bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan (Pasal 1337 KUHPerdata); 3) Perjanjian dibuat karena kekhilafan, paksaan atau penipuan (Pasal 1321 KUHPerdata); dan 4) Wanprestasi dalam pelaksananan perjanjian (Pasal 1266 KUHPerdata). Penulis catatan, kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung No. 3641.K / Pdt / 2001 tanggal 1 September 2002 adalah “penanandatangan perjanjian yang tertuang dalam Akta No. 41 dan 42 oleh orang yang berada di polisi tersebut, adalah tindakan tindakan “pernyataan keadaan”, karena salah satu pihak dalam perjanjian tersebut berada dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Akibat hukumnya, semua perjanjian yang tertuang dalam Akta No. 41 dan No. 42 tersebut beserta perjanjian lainnya, menjadi batal menurut hukum atau dinyatakan batal oleh hakim atas perintah / gugatan pihak lain ” . Pembatalan perjanjian tersebut karena keadaan darurat atas keadaan psikologis yang tidak seimbang dari pihak yang menutup perjanjian. Latar belakang lahirnya perjanjian adalah adanya janji dari salah satu pihak untuk membantu penangguhan penahanan pihak lainnya.

C. Pembuktian Adanya Penyalahgunaan Keadaan

KUHPerdata tidak menganut prinsip  justum pretitum, yaitu prinsip yang mengharuskan agar dalam perjanjian timbal dipenuhi syarat keseimbangan prestasi dan kontra prestasi. Oleh karena itu, adanya prestasi dan kontra prestasi yang tidak cukup. Tidak seimbangnya prestasi dan kontra prestasi hanyalah salah satu indikator yang harus dibuktikan lebih jauh apakah keadaan itu didahului oleh keadaan keadaan. Harus dibuktikan bahwa ketidakseimbangan prestasi yang menyolok terjadi karena adanya tekanan keadaan, yang oleh salah satu fihak disalahgunakan. Tekanan keadaan dan ketidakseimbangan saja tidak cukup, yang penting justru dibuktikan adanya keadaan ekonomis atau psikologis (J. Satrio, 2001: 322-323).

Penilaian ada tidaknya keputusan keadaan harus dilakukan secara kasuistis. Hingga saat ini belum terdapat peraturan perundang-undangan yang secara limitatif menyebutkan kriteria status. Oleh karena itu, maka terhadap setiap kasus harus dilihat secara obyektif-rasional mengenai situasi dan kondisi pada saat ditutupnya perjanjian dan formulasi prestasi atau kontra prestasi pada penjanjian itu sendiri. Kesimpulan dari keputusan negara secara subyektif tanpa memandang kriteria obyektif dapat menyebabkan ketidakpastian hukum yang mencenderai keadilan.

Untuk menentukan tidaknya keadaan seseorang, indikator yang dapat menjadi patokan adalah:

1) Dari aspek formulasi perjanjian, prestasi dan kontra prestasi yang dibebankan kepada pihak yang tidak berimbang secara mencolok dan tidak patut, dan

2) Dari aspek aspek ditutupnya perjanjian, hal itu terjadi karena adanya pihak yang menyalahgunakan keadaan sebagai kondisi yang sesuai dengan cara yang lebih tinggi, baik berupa proses ekonomi atau psikologis.

Sebagaimana lazimnya dalam kasus pembatalan perjanjian atas dasar cacat kehendak, maka tidak diperlukan kerugian. Sudah cukup keberpihakan dapat dibuktikan bahwasanya tanpa pernyataan keadaan, perjanjian tidak mungkin lahir.

Merugikan dapat diartikan sebagai perjanjian dipaksakan ( opgedrongen ). Jadi kerugian ( nadeligheid ) sama dengan udah ( onvrijwilligheid ). * Menurut Parlemen Belanda, Kerugian Hanya disebut bahwa Kerugian hearts Bentuk apapun Dan Kerugian TIDAK Harus ADA hearts Perbuatan hukum hearts arti ketidaksamaan ANTARA Prestasi-Prestasi ATAU klausula Yang Berat Sebelah ( exoneratie  ATAU  onereuze klausul ), tetapi DAPAT pula bersifat subyektif Dan idiil. Perdebatan di Parlemen Belanda membuahkan hasil bahwa tidak ada kerugian ternyata tidak dicantumkan dalam Pasal 3:44 NBW (Herlien Budiono, 2008: 20).

 D.  Penutup

Kebebasan berkontrak mengandung makna kebebasan bagi setiap orang untuk membuat perjanjian asalkan dikehendaki oleh para pihak dan  causa nya tidak terlarang. Pada pihak yang bertanggung jawab yang seimbang akan melahirkan prestasi dan kontra prestasi yang seimbang. Akan tetapi tanpa batasan terhadap kebebasan berkontrak, dapat menjadi pengekangan terhadap pihak lain yang mempunyai hak rendah dalam menutup perjanjian.

Pembatasan terhadap kebebasan kebebasan berkontrak dari berbagai perkembangan dalam hukum perjanjian. Berkembangnya ajaran itikad baik saat menutup perjanjian dan semakin berpengaruhnya ajaran tentang keadaan sebagai alasan pembatalan berjanji untuk membatasi kebebasan berkontrak. Semakin berkembangnya peraturan peraturan-undangan di bidang ekonomi juga turut membatasi kebebasan berkontrak. Misalnya larangan dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang pelaku usaha membuat atau klausula baku tertentu. Peraturan-peraturan tersebut sering membuat ancaman kebatalan diluar adanya alasan paksaan, kesesatan dan penipuan yang selama ini kita kenal.

DAFTAR PUSTAKA

Henry P. Panggabean,  Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) Sebagai Alasan Baru Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda,  Yogyakarta, Liberty, 1992.

Herlien Budiono,  Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan , Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2008.

——,  Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan , Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2009.

  1. Satrio,  Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari perjanjian Buku I, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2001.
  1. Subekti,  Aneka Perjanjian , Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1995.

——,  Pokok-Pokok Hukum Perdata , Jakarta, PT Intermasa, 1996.

Wirjono Prodjodikoro,  Azas-Azas Hukum Perjanjian , Bandung, Mandar Maju, 2000.

Membaca dan Menulis Disini

Post a Comment

0 Comments